Menelusuri Jejak Rumah Kelahiran Bung Karno
Fri, Jun 10 8:30 PM WIT      
REPUBLIKA.CO.ID, Hampir semua rumah peninggalan Belanda di kawasan  Jalan Pandean, Surabaya masih asli. Antara satu rumah dan rumah lainnya  nyaris tak ada berbeda, bentuk, model, dan coraknya bergaya kolonial.  Sejak dulu, tidak ada yang spesial di kampung itu. Namun akhir - akhir  ini, warga dikejutkan dengan penelitian yang menggemparkan.
Tidak hanya bagi warga setempat, masyarakat Indonesia pun dibuat  tercengang dengan penemuan bahwa rumah kelahiran Soekarno, Presiden  pertama RI yang juga Sang Proklamator, berada di sebuah gang sempit yang  berukuran tidak lebih dari tiga meter di Kota Pahlawan, Surabaya. Bukan  di Blitar sebagaimana yang diketahui masyarakat Indonesia selama ini.
Bung Karno dilahirkan di Surabaya, tepatnya di sebuah rumah kontrakan  Jalan Lawang Seketeng, sekarang berubah menjadi Jalan Pandean IV/40.  Ayahnya Raden Soekemi seorang guru sekolah rakyat dan ibunya Ida Ayu Rai  seorang perempuan bangsawan Bali.
"Setelah kami lakukan penelitian dan melalui kajian cukup lama,  ternyata rumah kelahiran Soekarno bukan di Blitar, melainkan di  Surabaya," ujar Ketua Umum "Soekarno Institute", Peter A Rohi.
Ukuran bangunan rumah itu 6x14 meter. Terdiri dari satu ruang tamu,  satu ruang tengah yang biasa ditempati keluarga bersantai, dan dua  kamar. Di belakang ada dapur yang terdapat juga sebuah tangga kayu untuk  naik ke lantai dua. Di lantai atas tersebut, hanya digunakan untuk  menjemur pakaian.
"Dari dulu, ya seperti ini. Kami tidak mengubahnya, atau merenovasi," ujar Siti Djamilah, pemilik rumah saat ini.
Ia mengaku menempati bangunan itu sejak 1990. Ketika itu, ia ikut  kedua orangtuanya. Kakak Djamilah dan suaminya, H. Zaenal Arifin juga  menetap rumah itu.
Kemudian, 1998 Djamilah menikahi Choiri. Setelah kedua orang tua  Djamilah meninggal, mereka hanya tinggal berempat. "Kami tidak menyangka  bahwa rumah ini adalah tempat kelahiran Bung Karno. Sebuah kebanggaan  dan anugerah karena kami tinggal di rumah tokoh kelas dunia. Tidak hanya  presiden, tapi seorang yang patut menjadi teladan bangsa Indonesia,"  tutur Choiri, suami Djamilah.
"Kami sudah melalui kajian dan penelitian panjang sejak masa  reformasi. Bahkan penelitian juga kami lakukan di Belanda. Buku-buku  sejarah masa lalu juga membuktikan bahwa di Surabaya inilah Bung Karno  dilahirkan. Syukurlah sekarang bisa diresmikan," ujar Peter A. Rohi.
"Di Jakarta ada prasasti Barack Obama, padahal dia Presiden Amerika  Serikat. Masak Presiden Indonesia tidak ada prasastinya? Kami  memasangnya di rumah kelahiran Soekarno," katanya, menambahkan.
Pasang Prasasti
Dijelaskan Peter, pemasangan prasasti digelar 6 Juni 2011 karena  disamakan dengan tanggal kelahiran Soekarno, yakni 6 Juni 1901. Peter  menyayangkan sikap pemerintah yang menyatakan bahwa Soekarno lahir di  Blitar. Padahal, kata dia, berbagai buku-buku sejarah dan arsip nasional  ditegaskan bahwa Soekarno dilahirkan di Surabaya.
Ia berani menunjukkan puluhan koleksi buku sejarah yang menuliskan  kelahiran Soekarno. Di antaranya, buku berjudul "Soekarno Bapak  Indonesia Merdeka" karya Bob Hering, "Ayah Bunda Bung Karno" karya  Nurinwa Ki S. Hendrowinoto tahun 2002, "Kamus Politik" karangan Adinda  dan Usman Burhan tahun 1950.
Lainnya, "Ensiklopedia Indonesia" tahun 1955, "Ensiklopedia  Indonesia" tahun 1985, dan "Im Yang Tjoe" tahun 1933 yang sudah ditulis  kembali oleh Peter A Rohi dengan judul "Soekarno Sebagi Manoesia" pada  tahun 2008.
"Bahkan mantan Kepala Perpustakaan Blitar sudah mengakui bahwa  Soekarno tidak dilahirkan di Blitar, melainkan di Surabaya," tuturnya.  Pihaknya berharap, ke depan masyarakat Indonesia lebih mengetahui dan  mengakui bahwa kota kelahiran Soekarno yang selama ini dikenal adalah  keliru.
"Dulu pascatragedi G30S/PKI, semua buku sejarah ditarik dan diganti  di Pusat Sejarah ABRI pimpinan Nugroho Notosusanto. Tapi saya heran,  kenapa ada pergantian kota kelahiran Soekarno? Semoga pemerintah ke  depan sudah mengakui bahwa lahirnya presiden pertama Indonesia ada di  Surabaya," papar Peter.
Walikota Surabaya Tri Rismaharini juga mengaku sangat yakin bahwa  Bung Karno bukan dilahirkan di Blitar. Pihaknya juga telah mengirim  surat ke Pemerintah Pusat untuk meluruskan persoalan ini dan optimistis  pemerintah mengakuinya.
"Kami masih menunggu respon dari Pemerintah Pusat. Tapi tahun 2010,  walikota Surabaya saat itu, Bambang DH, sudah menandatangani prasasti  sekaligus mengirimkan surat ke pemerintah pusat," tutur Tri Rismaharini.
Jadi Museum
Menurut Risma, pihaknya sudah menemui keluarga pemilik rumah, Choiri,  agar bersedia menjualnya dan akan dijadikan museum atau tempat cagar  budaya.
"Saya sudah memberikan tugas kepada Dinas Pariwisata Kota Surabaya  untuk negosiasi harga dengan pemilik rumah. Nantinya rumah kelahiran  Bung Karno akan dijadikan museum dan untuk kawasan sejarah," ujar Tri  Rismaharini ketika ditemui di sela pemasangan prasasti dan peresmian  rumah kelahiran Bung Karno, Senin (6/6).
Sayang, orang nomor satu di Surabaya tersebut enggan menyebutkan  anggaran yang dikeluarkan. "Harga masih negosiasi. Saya sudah minta ke  Bu Wiwik (Kepala Dinas Pariwisata) untuk mengalokasikan dana dari  Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) Kota Surabaya. Lebih bagus lagi kalau  masih ada barang-barang aslinya, agar bisa menceritakan ke anak-anak  bahwa di Surabaya Bapak Proklamator dilahirkan," tutur Risma.
Sementara itu, keluarga Bung Karno, Prof. Haryono Sigit, mengakui  bahwa orangtua Bung Karno pernah tinggal di rumah itu. Ia juga  menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Kota Surabaya untuk mengelola  rumah tersebut. "Mau diapakan rumah itu, bukan wewenang saya. Saya  serahkan ke Pemkot," tukas mantan Rektor ITS Surabaya tersebut.
Direktur Utama Surabaya Herritage, Freddy H Istanto mengatakan, jika  nantinya rumah kelahiran Soekarno dijadikan museum maka yang harus  diperhatikan adalah sistem pengelolaannya.
Choiri, selaku pemilik rumah mengatakan, secara prinsip pihaknya  tidak mempermasalahkan dan siap menjual rumahnya ke Pemkot Surabaya.  Terkait harga, ia mengaku masih melakukan negosiasi untuk menentukan  harga yang pas. "Tapi kami masih banyak saudara kok di Surabaya, sambil  mencari rumah, kami mungkin tinggal di rumah saudara dulu," timpal  Djamilah.

No comments:
Post a Comment